
RADARSOLO.COM – Setiap mata terpaku. Ketegangan yang mencekam, berubah dalam sekejap menjadi kepedihan. Itulah yang dirasakan para penonton pertunjukan Sang Penggali Timah. Sebuah kisah yang menggali lebih dalam tentang eksploitasi sumber daya, ketidakadilan, dan harapan yang sirna.
Seorang pria bertubuh jangkung berdiri di atas tanah berdebu. Kaosnya lusuh, celananya pendek, tangannya mencengkeram erat ember berisi tanah dan bebatuan kasar—sisa dari penggalian timah yang melelahkan.
Di bawah langit yang mulai meredup, dia bekerja tanpa kepastian, menggali untuk kehidupan yang penuh ketidakadilan.
Pertunjukan Sang Penggali Timah merupakan adaptasi bebas dari naskah Sang Penggali Intan dan Penggali Kapur karya Kirdjomuljo pada 1950. Lakon ini digelar di Mas Don Art Center selama tiga hari, 21–23 Februari, membawa penonton menyusuri kisah pahit tentang eksploitasi dan perebutan kekayaan alam.
Dipandu oleh Maestro Tari Sardono W. Kusumo sebagai dramaturg, pertunjukan ini juga melibatkan R. Poetra dan Vicky Saputra dari Bangka Belitung dalam merespons narasi penggalian timah. Di bawah arahan dramawan asal Solo, Hanindawan, lakon ini dikemas dengan nuansa artistik yang mendalam.
Galuh Sari dan Darsono Djarot berperan sebagai aktor, dengan komposer legendaris Otto Sidharta menghadirkan elemen musik yang memperkuat suasana. Sementara itu, model dan desainer muda Sinta Dewi serta make-up artist Galih Hady Soemarto turut memberikan sentuhan estetika yang khas.
“Lakon ini menggunakan struktur waktu yang kompleks, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,” ungkap Hanindawan kepada Jawa Pos Radar Solo usai pentas.
Hanindawan turut berperan sebagai Sanyoto, seorang penggali timah yang berkelana mencari kehidupan lebih baik. Ia terus berbicara dengan sosok rekannya yang telah tiada, Sakir, menciptakan monolog yang mendalam tentang kehilangan dan kepedihan.
Kemudian, latar berubah ke masa lampau. Sakir muncul dengan jurus silat andalannya, bukan hanya sebagai pengembara, tetapi juga seorang petarung yang tangguh. Kisahnya semakin pelik saat ia harus berhadapan dengan Muklis, seorang penguasa yang licik.
Konflik antara mereka tak hanya soal kekayaan alam, tetapi juga perebutan hati Mirat, wanita yang akhirnya jatuh ke pelukan Muklis karena iming-iming kemewahan.
“Dua penggali ini mencerminkan rakyat kita, yang mengais rezeki dari kekayaan tanah air sendiri, namun tetap berada di posisi terbawah. Bahkan untuk mengolah limbah pun mereka harus berjuang,” jelas Hanindawan.
Dalam akhir cerita, Sakir kehilangan nyawanya, sementara Muklis akhirnya menikmati kekayaan dan kekuasaan. Namun, kebohongan tak bisa bertahan selamanya. Muklis pun berakhir di balik jeruji besi sebagai tahanan KPK—sebuah ironi yang menggambarkan realitas di negeri ini.
Lakon Sang Penggali Timah digarap dalam waktu yang relatif singkat, hanya satu bulan sejak penulisan naskah hingga latihan intens. Namun, hasilnya luar biasa. Para aktor dan kru berhasil menyuguhkan pertunjukan yang memikat.
“Dari hari pertama hingga hari terakhir, kepercayaan diri para aktor semakin meningkat. Orkestranya semakin matang, dan pertunjukan ini benar-benar berkembang di tiap pementasan,” ujar Hanindawan.
Keunikan lain dari pertunjukan ini adalah tempat penyelenggaraannya. Berbeda dari pementasan konvensional di gedung besar, Sang Penggali Timah justru dipentaskan di tengah kampung, menjadikannya lebih dekat dengan masyarakat.
“Ruangan di tengah kampung ini membuat suasana semakin menarik. Seniman tari, mahasiswa, hingga warga umum menyaksikan dengan penuh antusias,” ujar Hanindawan.
KLIPING disimpan dari situs radarsolo.com / Mannisa Elfira– Minggu, 2 Maret 2025 | 21:11 WIB /Editor: Kabun Triyatno/ Foto M. Ihsan.
Leave a Reply